Selama tahun 1996-2005 tercatat 334.685 kasus demam berdarah dengan jumlah kematian 3.092 orang. Upaya pencegahan DBD melalui metode lingkungan, biologis, dan kimiawi kurang berhasil, dan upaya pengobatan secara formal masih terbatas. Beberapa jenis
tanaman obat seperti daun pepaya, daun jambu biji, kunyit, temu ireng, dan meniran terbukti secara empiris dapat mengobati penyakit DBD.
Kasus penyakit DBD pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Di ndonesia, kasus DBD pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya tahun 1968 dan di akarta dengan jumlah penderita yang meninggal 24 orang. Namun, konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1972. Sejak itu penyakit DBD menyebar ke berbagai daerah dan pada tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia telah terjangkit DBD.
Selama tahun 1996-2005 tercatat 334.685 kasus DBD dengan jumlah penderita yang meninggal 3.092 orang. Jumlah kasus DBD menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahun, demikian pula luas wilayah yang terjangkit. Departemen Kesehatan telah mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi kasus ini, seperti memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan serta memberikan larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Namun, cara tersebut hingga kini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.
Pencegahan
Menurut data dari Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular, Departemen kesehatan, keberhasilan pencegahan penyakit DBD sangat bergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti/Aedes albopictus. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, seperti metode lingkungan, biologis, dan kimiawi. Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk A. aegypti mencakup pemberantasan sarang nyamuk, pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Cara lain yang dianggap efektif adalah dengan kombinasi yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun serta melakukan beberapa tindakan plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, dan memeriksa jentik secara berkala sesuai dengan kondisi setempat.
Pengendalian biologis antara lain adalah menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan upang) dan bakteri (Bt.H-14), serta menanam tanaman pengusir nyamuk seperti zodia, geranium, lavender, dan rosmeri. Tanaman pengusir nyamuk dapat ditanam di pekarangan atau di dalam rumah dengan menggunakan pot. Cara pengendalian kimiawi antara lain adalah dengan pengasapan, memberikan bubuk abate (temefos), menggunakan lotion antinyamuk, dan memasang aroma terapi dari minyak atsiri yang berkhasiat sebagai antinyamuk. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Balittro) telah memproduksi aroma terapi antinyamuk.
Pengobatan
Pengobatan yang umum bagi penderita demam berdarah adalah dengan cara penggantian airan tubuh, yaitu memberikan minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (air teh dan gula, sirup atau susu) serta pemberian gastroenteritis oral solution atau kristal diare, yaitu garam elektrolit (oralit), kalau perlu 1 sendok makan setiap 3-5 menit. Pengobatan yang selama ini diberikan lebih bersifat menjaga dan mencegah kejadian lebih buruk. Untuk pengobatan kuratif secara formal masih terbatas. Tanaman Obat Indonesia Anti-DBD Balittro sebagai balai yang memiliki mandat penelitian tanaman obat berupaya mencari jenis-jenis tanaman obat yang berkhasiat dalam mengobati penyakit DBD. Jenis tanaman obat yang terpilih ada lima, yaitu pepaya gandul, kunyit, temu ireng, meniran, dan jambu biji. Tanaman tersebut diramu sedemikian rupa, baik dalam bentuk simplisia kering, serbuk maupun sirup. Jenis tanaman tersebut dipilih berdasarkan manfaatnya dalam mengatasi penyebab penyakit DBD dan gejalanya. Tanaman tersebut sudah digunakan secara empiris sebagai obat tradisional, diketahui nama latin dan sistematikanya sehingga tidak salah dalam memilih jenis tanaman, diketahui kandungan zat berkhasiat dan golongan senyawa atau zat identitasnya, dan tanaman diproses sesuai dengan metode standar. Meniran biasanya tumbuh liar di pinggiran kebun, pekarangan/halaman rumah, atau pinggir jalan, dan merupakan gulma di lahan pertanian. Kunyit, temu ireng, pepaya, dan jambu biji bisa ditanam dihalaman/pekarangan rumah sebagai tanaman obat keluarga atau apotik hidup.
Balittro telah mengeluarkan formula ramuan anti-DBD berupasimplisia maupun sirup. Ramuan tersebut terdiri atas daun pepaya tua 2 lembar, meniran 3-4 tanaman, daun jambu biji merah 2-3 lembar, kunyit 2-4 jari, temu ireng 2-3 buah, dan garam secukupnya. Ramuan bisa digunakan dalam bentuk segar dengan cara ditumbuk atau diblender kemudian dicampur dengan satu gelas air putih. Ramuan diminum tiga kali sehari. Dapat pula digunakan dalam bentuk simplisia. Caranya, simplisia direbus dengan enam gelas air sampai menghasilkan tiga gelas, lalu air rebusan diminum tiga kali sehari, masingmasing satu gelas pada pagi, siang, dan malam hari. Manfaat dari masing-masing tanaman diuraikan berikut ini.
1. Pepaya (Carica papaya)
Untuk ramuan DBD, digunakan daun pepaya jantan (pepaya gandul). Daun pepaya mengandung berbagai enzim seperti papain, karpain, pseudokarpain, nikotin, kontinin, miosmin, dan glikosida karposid. Manfaat empiris daun pepaya gandul adalah getah daun muda untuk obat pencahar, daunnya merangsang sekresi empedu serta sebagai obat sakit perut, demam malaria, dan penyakit cacing serta membantu proses pencernaan. Daun pepaya sudah digunakan sebagai bahan ramuan obat di 23 negara dan mendapat prioritas sebagai tanaman obat utama menurut WHO.
Hasil penelitian mengenai khasiat daun pepaya menunjukkan bahwa papain pada daun pepaya memiliki efek terapi pada penderita inflamasi atau pembengkakan organ hati, mata, kelamin, dan usus halus. Pembengkakan organ hati ditemukan pada penderita demam berdarah. Di samping itu, daun pepaya juga memiliki aktivitas antioksidan, antikoagulan, serta menyembuhkan luka lambung dan usus.
2. Meniran (Phyllanthus niruri)
Meniran memiliki khasiat sebagai obat antivirus. Senyawa yang ditemukan pada meniran antara lain adalah triterpenoid, flavoniod, tanin, alkaloid, dan asam fenolat. Secara empiris, rebusan daun meniran sering dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit hati, sebagai diuretik untuk hati dan ginjal, kolik, penyakit kelamin, obat batuk, ekspektoran, antidiare, seriawan/panas dalam, dan sebagai tonik lambung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran berfungsi menghambat DNA polimerase dari virus hepatitis B dan virus hepatitis sejenisnya, menghambat enzim reverse transcriptase dari retrovirus, sebagai antibakteri, antifungi, antidiare, dan penyakit gastrointestinal lainnya. Meniran juga memiliki fungsi meningkatkan ketahanan tubuh penderita dengan cara memacu fagositosis sel makrofag, fungsi proliferatif limfosit T, antibodi IgM dan IgG, aktivitas hemolitik, sitotoksisitas sel NK, dan khemotaksis neutrofil dan makrofag.
3. Kunyit (Curcuma domestica)
Kunyit telah lama dimanfaatkan dalam ramuan obat tradisional untuk mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit, seperti stomakik, stimulan, karminatif, haematik, hepato-protektor, mengobati luka lambung dan ulser, sebagai pewarna makanan, bumbu, antispasmodik, antiimflamasi, gangguan pencernaan, dan sebagai insektisida, bahan kosmetik, dan antioksidan. Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri (turmeron, zingiberene) dan zat berkhasiat dari golongan kurkuminoid (kurkumin I, II, dan III). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kunyit memiliki aktivitas sebagai antimikroba (berspektrum luas), antivirus HIV, antioksidan, antitumor (menginduksi apostosis), menghambat perkembangan sel tumor payudara, antiinvasi sel kanker, antireumatoid artritis (rematik), dan untuk mengobati penyakit pencernaan (tukak lambung).
4. Temu Ireng (Curcuma aeruginosa)
Temu ireng telah banyak dimanfaatkan secara empiris untuk mengobati sel-sel hati yang rusak. Pada penderita demam berdarah, terjadi kerusakan sel-sel hati. Secara empiris temu ireng juga bermanfaat untuk mengobati kolik, luka lambung dan usus, asma, batuk, menambah nafsu makan, mempercepat pengeluaran lokhia setelah melahirkan, mencegah obesitas, rematik, anthelmintik, dan sebagai sumber tepung. Temu ireng mengandung minyak atsiri (turmeron, zingiberene), kurkuminoid (kurkumin I, II, dan III) serta alkaloid, saponin, pati, damar, dan lemak.
5. Jambu Biji (Psidium guajava)
Daun jambu biji sudah banyak dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Secara empiris, daun jambu biji bersifat antibiotik dan telah dimanfaatkan untuk antidiare, sedangkan buahnya untuk obat pencahar, tanin mempersempit urat darah. Daun jambu biji mengandung tanin, minyak atsiri, minyak lemak, dan minyak malat, sedangkan buahnya mengandung vitamin C yang tinggi. Hasil penelitian yang dikutip dari berbagai sumber menunjukkan daun jambu biji terbukti dapat menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dari virus dengue, tanin menghambat enzim reverse transcriptase maupun DNA polymerase dari virus serta menghambat pertumbuhan virus yang berinti DNA maupun RNA. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kering daun jambu biji selama 5 hari mempercepat pencapaian jumlah trombosit >100.000/μl, pemberian ekstrak kering setiap 4-6 jam meningkatkan jumlah trombosit >100.000/μl setelah 12-14 jam, tanpa menimbulkan efek samping yang berarti.
Dengan demikian, ekstrak daun jambu biji dapat digunakan untuk pengobatan kuratif demam berdarah. Beragam tanaman obat dapat igunakan untuk mengatasi penyakit demam berdarah, baik berupa simplisia, serbuk, maupun sirup. Masih diperlukan penelitian untuk menghasilkan obat yang teruji mutu, keamanan, dan khasiatnya agar bisa dikembangkan sebagai obat fitofarmaka dan dimanfaatkan dalam pengobatan formal penyakit demam berdarah (Nurliani Bermawie).
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Jalan Tentara Pelajar No. 3
Bogor 16111
Telepon : (0251) 321879
327010
Faksimile: (0251) 32701
E-mail : balittro@telkom.net
GIZI SEHAT LUAR BIASA
HEALTH

Senin, 29 November 2010
Minggu, 28 November 2010
Gizi Buruk pada Anak Balita
MASALAH GIZI BURUK PADA BALITA
DALAM KONTEKS BUDAYA
(KASUS DI DAERAH PANTAI UTARA KABUPATEN CIREBON)
Munculnya kembali kasus gizi buruk yang diawali di Provinsi NTT dan NTB dan kemudian diikuti oleh provinsi lainnya menunjukan bahwa masalah gizi selain merupakan masalah kesehatan masyarakat juga terkait dengan masalah sosial dan budaya. Begitupun masalah gizi buruk masih menjadi masalah sosial dan kesehatan di Provinsi Jawa Barat. Gizi buruk adalah kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam asupan makanan sehari-hari. Seorang penderita gizi buruk tidak mendapatkan minimum angka kecukupan gizi (AKG). Anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya kekurangan gizi. Kekurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai tingkat berat. Apabila jumlah asupan gizi balita sesuai dengan kebutuhan disebut seimbang (gizi baik), sedangkan apabila asupan zat gizi lebih rendah dari kebutuhan disebut gizi kurang, sedangkan apabila asupan zat gizi sangat kurang dari kebutuhan disebut gizi buruk. Anak Balita yang sehat atau kurang gizi dapat diketahui melalui perbandingan antara berat badan menurut umur atau berat badan menurut tinggi. Apabila sesuai dengan standar anak disebut gizi baik, apabila sedikit di bawah standar disebut gizi kurang, sedangkan jika jauh di bawah standar disebut gizi buruk. Apabila gizi buruk disertai dengan tanda-tanda klinis seperti ; wajah sangat kurus, muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut Marasmus, dan bila ada bengkak terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut Kwashiorkor. Marasmus dan Kwashiorkor atau Marasmus Kwashiorkor dikenal di masyarakat sebagai “busung lapar”.
Infromasi lebih lanjut lihat Definisi dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jabar tentang status gizi balita berdasarkan berat badan dan umur (BB/U) menunjukkan bahwa pada tahun 2005 sebanyak 8.345 (4,57%) balita berstatus gizi buruk (dari 189.773 balita yang ditimbang). Dari 25 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Cirebon adalah daerah dengan kasus gizi buruk tertinggi. Selanjutnya pada tahun 2006, terdapat penurunan jumlah balita yang mengalami gizi buruk yaitu sebanyak 4.133 (2,2,%) dari 186.253 balita yang ditimbang. Kabupaten Cirebon berada posisi ketiga pada kasus gizi buruk di Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2007, jumlah balita gizi buruk sebanyak 3.487 (2,48%) dari 140.633 balita yang ditimbang dan Kabupaten Cirebon berada pada posisi ketiga di Provinsi Jawa Barat. Gambaran mengenai status gizi balita di Kabupaten Cirebon pada tahun 2005 – 2007 disajikan pada tabel 1.
TABEL1. STATUS GIZI BALITA DI KABUPATEN CIREBON TAHUN 2005 – 2007Tahun | Status Gizi (BB/U) | |||||||
Buruk | Kurang | Baik | Lebih | |||||
N | % | N | % | N | % | N | % | |
2005 | 8.345 | 4,57 | 60.830 | 33,3 | 119.580 | 65,5 | 1.018 | 0,6 |
2006 | 4.133 | 2,22 | 28.202 | 15,1 | 148.759 | 79.9 | 2.824 | 1,52 |
2007 | 3.487 | 2,48 | 21.154 | 15,04 | 113.472 | 80,69 | 2.520 | 1,79 |
Berdasarkan data yang tercantum pada tabel 1 tampak bahwa Kabupaten Cirebon dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (2005 – 2007) mengalami penurunan pada balita yang mengalami gizi buruk. Namun demikian, Kabupaten Cirebon adalah salah satu daerah yang tetap memiliki balita gizi buruk yang tinggi di Propinsi Jawa Barat dalam 3 tahun terakhir. Selain itu Kabupaten Cirebon di daerah pantai utara (pantura) adalah salah daerah yang memilki potensi sumber daya alam yang melimpah dan memilki sumber protein yang tersedia cukup banyak. Namun karena kebiasaan, kepercayaan dan ketidaktahuan terhadap gizi, maka banyak jenis-jenis bahan makanan yang memiliki sumber protein tetapi tidak dimanfaatkan untuk konsumsi anak-anak.
Istilah Kurang Energi Protein (KEP) sekarang dipandang sebagai suatu permasalahan ekologis dimana tidak saja disebabkan oleh ketidakcukupan ketersediaan pangan atau zat-zat gizi tertentu, tetapi juga dipengaruhi oleh kemiskinan, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan ketidaktahuan terhadap gizi (Sue Kim, dalam Suhardjo, 2003 : 4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir di Kabupaten Cirebon dilihat dari keadaan perumahan, keadaannya tidak teratur, rapat dan kurang memperhatikan sirkulasi udara. Pemukiman penduduk di Kabupaten Cirebon merupakan pemukiman yang padat, sebagian besar masyarakat nelayan masih belum memiliki WC, hal ini disebabkan kebiasaan nelayan yang membuang hajat di sungai karena letak pemukiman yang dekat dengan sungai (Hasil penelitian, 2003).
Tingginya kasus gizi buruk balita di sejumlah daerah juga terkait dengan daya beli masyarakat yang makin berkurang, terutama di kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Masyarakat yang miskin memang sangat rawan terhadap masalah kelaparan dan hal ini secara langsung mempengaruhi gizi mereka. Kabupaten Cirebon merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, di Jawa Barat tahun 2005 terdapat 2,9 juta rumah tangga miskin. Kabupaten Cirebon memiliki 203.203 rumah tangga miskin, dan ditemukan banyak kasus gizi buruk pada balita. Saat ini kemiskinan merupakan penyebab pokok terjadinya gizi buruk.
Pemerhati Kesehatan Masyarakat, Roy Tjiong, mengemukakan bahwa angka gizi buruk di Indonesia makin tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pendekatan serta program yang telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi gizi buruk sudah tidak sesuai lagi untuk diimplementasikan pada saat ini. Salah satunya adalah adanya asumsi bahwa gizi buruk hanya disebabkan kurangnya protein pada tubuh, padahal saat ini permasalahan gizi buruk terjadi akibat beberapa factor penyebab yang kompleks. (http://www.koalisi.org/dokumen /dokumen38911.pdf).
Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon (Retina Sri Sedjati) mengemukakan bahwa kasus gizi buruk di Cirebon lebih disebabkan pada rendahnya pengetahuan orang tua. “Andaikata orang tua lebih rajin membawa anak-anak mereka ke puskesmas, maka hal ini tidak terjadi, karena di Puskesmas minimal anak akan mendapatkan asupan multivitamin gratis sebagai hasil bantuan dari pemerintah daerah,”. Kondisi anak yang mengalami kekurangan gizi pun, seringkali diperparah dengan penyakit lain, seperti flu, demam, maupun TBC. Hal ini makin buruk ketika orangtua takut membawa anak berobat karena alasan tidak punya biaya.
Salah satu penderita gizi kurang di Kabupaten Cirebon, yaitu Abdul Basir (22 bulan), warga Desa Kesugengan Lor, Kecamatan Plumbon yang ditemukan pada bulan Maret 2005, diketahui bahwa keluarga Abdul Basir termasuk keluarga miskin, ibunya seorang ibu rumah tangga, dan sang ayah, Sudira hanyalah sebagai pemulung. Persoalan makin berat, ketika Abdul Basir ternyata merupakan anak nomor lima. Dengan demikian, beban sang ayah untuk menghidupi keluarganya semakin berat. Abdul Basir menderita gizi buruk dan akhirnya menjalani perawatan di RSUD Gunung Jati selama tiga bulan. (Sumber: Media Indonesia Online – Senin, 13 Juni 2005).
Menurut Yetty Nency dan Muhamad Thohar Arifin (2005) tingginya kasus gizi buruk pada balita di sejumlah daerah terkait dengan penyebab baik langsung maupun tidak langsung, diantararanya yaitu :
1. Tidak tersedianya makanan secara adekuat.
Tidak tersedinya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Selain itu proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.2. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang.
Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan banyak anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.
3. Pola makan yang salah
Hasil studi “positive deviance” mengemukakan bahwa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui bahwa pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan yang mengerti tentang pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Selain itu banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk
4. Adanya kebiasaan
mitos ataupun kepercayaan/adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu ( misalnya tidak memberikan anak-anak daging, telur, santan dll). Hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup.
Dengan demikian, walaupun masalah gizi buruk terjadi akibat beberapa faktor penyebab yang kompleks, namun faktor budaya turut berperan dalam masalah ini. Suhardjo (1996 : 21) mengemukakan bahwa walaupun kelaparan dapat ditentukan secara biologis, tetapi pada umumnya kebiasaan pangan seseorang tidak didasarkan atas keperluan fisik akan zat-zat gizi yang terkandung dalam pangan. Kebiasaan ini berasal dari pola pangan yang diterima kelompok dan diajarkan kepada seluruh anggota keluarga.
Kebiasaan makan yang cenderung dipertahankan dalam suatu masyarakat, seringkali mencegah orang untuk memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka dan bahkan bertentangan dengan program perbaikan gizi. Misalnya, pada masyarakat Minangkabau terdapat anggapan umum bahwa sayur-sayuran dianggap sebagai “makanan rendah”, sehingga dalam menu makanan jarang ditemui jenis sayuran. Selain itu ada kepercayaan bahwa anak-anak yang menderita sakit tertentu dilarang memakan makanan tertentu, seperti anak yang sakit bisul dilarang makan telur, bayi yang menderita diare tidak boleh minum ASI dan banyak lagi yang lain. Selain itu faktor kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makanan yang bergizi juga turut menentukan terjadinya gizi buruk pada balita.
Kepercayaan dan pengetahuan adalah bagian penting dari kebudayaan. Kebudayaan mengacu kepada sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan dan memilih diantara alternatif yang ada. Kepercayaan masyarakat ini akan melahirkan larangan atau tabu. Menurut Sarwono (1993 : 14) masyarakat menerima pernyataan atau pendirian kepercayaan tentang sesuatu tanpa menunjukan sikap pro atau anti. Kepercayaan itu diteladani tanpa banyak dipertanyakan.
Kepercayaan dan kebiasaan masyarakat termasuk pengetahuan mereka tentang gizi, harus dipertimbangkan sebagai bagian dari faktor penyebab yang berpengaruh terhadap masalah gizi buruk pada balita. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan kajian lebih mendalam tentang masalah pengetahuan, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat tentang makanan dalam kaitannya dengan pantangan atau tabu makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Achmad Djaeni Sediaotama. 2006. Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Dian Rakyat.
Achmad Fedyani Saifuddin. 2006. Antropologi Kontemporer. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Albert, Gary, Ray Fitzpatrick, and Susan C. Schrimshaw. 2003. Social Studies in Health and Medicine. London : Sage Publication Ltd.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. 2003. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Cirebon tahun 2003. Cirebon.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. 2007. Kabupaten Cirebon Dalam Angka. Cirebon.
Badan Pusat Statistik. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005 – 2006 (Kabupaten). Jakarta.
Departmen Kesehatan RI. 2000. Buku Panduan Pengelolaan Program Perbaikan Gizi Kabupaten/Kota. Jakarta.
———-. 2007. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta.
Foster, George M, Barbara Gallatin Anderson. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I. Jakarta : PT. Gramedia.
Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya. Jakarta : Erlangga.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Macionis, John J. 2003. Sociology – Ninth Edition. New Jersey : Prentice Hall. Mc. Elroy, Ann and Patricia K. Townsend. 1979. Medical Antropology in Ecological perspective. North Scituate, Massachussets : Duxbury Press.
Soekidjo Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta.
Solita Sarwono. 2007. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sjahmien Moehji. 2003. Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Bharatara Niaga Media.
Sri Meiyenti. 2006. Gizi dalam Perspektif Sosial Budaya. Padang : Andalas University Press.
Suharjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara.
Yudistira K. Garna. 2006. Teori Sosial Pembangunan.
Laporan Penelitian
Ratih Dharmi Woelandaroe. 2002. A Comparison of The Incidence of Malnutrition in West Java and Lampung Provinces in Indonesia – A Review. Sydney : The University of New South Wales.
Sri Meiyenti. 2001. Aspek Sosial Budaya Tentang Gizi (Studi kasus pengaturan makanan bayi dan balita pada empat rumah tangga di Desa Ganting Kecamatan Seluruh Koto Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat). Bandung : Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Artikel
Abi.2007.Cirebon Masih Punya 8.000 Balita Gizi Buruk dan 28.000 Kurang Gizi. http://www.republika.co.id.
Eri. 2007. Kondisi Gizi Buruk pada Balita di Jawa Barat.
Langganan:
Postingan (Atom)